Bayang-Bayang Ketimpangan Jabar (Bagian II), Lahan Hilang, Rakyat Terpinggir

Bayang-Bayang Ketimpangan Jabar (Bagian II), Lahan Hilang, Rakyat Terpinggir

Budi Rahman Hakim, Ph.D (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta | Peneliti Transformasi Sosial & Keadilan Wilayah)

Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta | Alumnus McGill University, Kanada

Di tengah deru ekskavator dan gempita peresmian kawasan industri baru di Jawa Barat utara, ada yang perlahan hilang—dan sering kali tak disebutkan dalam pidato pembangunan: lahan pertanian dan komunitas pengolahnya. Subang, Karawang, dan Purwakarta mengalami konversi lahan dalam skala besar, dan ini bukan sekadar masalah ruang, tapi juga soal masa depan pangan dan keadilan sosial.

Data Lahan yang Mengkhawatirkan

BACA JUGA: Upaya Meningkatkan Partisipasi Pemilih Pilkada Subang: Sosialisasi Inklusif Kunci Demokrasi Berkualitas

Menurut laporan Dinas Pertanian Jawa Barat (Mei 2025), dalam lima tahun terakhir Karawang kehilangan sekitar 6.400 hektar lahan sawah produktif yang dikonversi menjadi kawasan industri, perumahan, dan infrastruktur penunjang. Subang mencatat angka 3.900 hektar, dan Purwakarta tidak jauh berbeda dengan 2.100 hektar lahan beralih fungsi.

Padahal Karawang dan Subang dikenal sebagai dua dari lima kabupaten penyumbang surplus beras terbesar di Jawa Barat sejak dekade 1990-an. Bahkan Karawang pernah dijuluki “lumbung padi nasional”. Kini, ironi itu mencolok: kabupaten yang dulunya menghidupi Indonesia, kini mengimpor beras dari kabupaten lain untuk memenuhi kebutuhan lokalnya.

Laporan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP, 2024) menunjukkan bahwa Jawa Barat kehilangan 15% lahan baku sawah dalam satu dekade terakhir—dan 68% di antaranya berasal dari wilayah utara: Karawang–Subang–Purwakarta.

Pangan Lokal dan Harga Melonjak

BACA JUGA: Bayang-bayang Ketimpangan Jabar (Bagian I): Kemajuan Tak Sampai ke Desa

Alih fungsi lahan bukan hanya menggerus ruang tanam, tapi juga mengguncang ekosistem pangan lokal. Di pasar-pasar tradisional Cikampek dan Pamanukan, harga gabah kering panen naik tajam sejak Januari 2025, sementara distribusi pupuk makin sulit karena minimnya insentif bagi petani kecil. Banyak petani mulai menjual lahannya karena merasa tak lagi untung.

Di Desa Tambakdahan, Subang, kelompok tani “Mekar Jaya” membubarkan diri bulan lalu karena 80% anggotanya berhenti bertani. Lahan mereka telah dijual kepada pengembang kawasan pergudangan. “Tanah kami sekarang jadi kontainer logistik. Dulu kami panen dua kali setahun, sekarang kami jadi penjaga malam di tanah sendiri,” kata Pak Ruhiyat, mantan petani.

Fenomena ini sejalan dengan kajian The World Bank (2022) tentang rural dispossession: ketika ekonomi industri berkembang tanpa mitigasi sosial, muncul kelas baru warga yang tercerabut dari sumber hidupnya sendiri—bukan karena malas, tapi karena sistem yang memaksa mereka keluar dari tanah.

Muncul Buruh Semi-Formal

Alih profesi secara mendadak telah melahirkan segmen sosial baru: buruh semi-formal—orang-orang yang dulunya petani atau nelayan, kini bekerja tanpa keahlian di gudang, proyek konstruksi, atau sektor logistik. Sebagian lain menjadi pedagang kecil dadakan atau pengemudi ojek daring.

Namun kehidupan mereka tak pasti. Mereka tidak mendapat pelatihan, tidak memiliki perlindungan sosial, dan tidak terhubung dengan program pemberdayaan resmi. Bahkan, banyak yang tidak tercatat dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) karena sebelumnya dianggap "tidak miskin".

Menurut Laporan Bappenas dan TNP2K (2024), Karawang dan Subang mencatat peningkatan jumlah pekerja informal sebesar 21% dalam tiga tahun terakhir, seiring dengan berkurangnya lapangan kerja berbasis pertanian dan kerajinan rumah tangga.

Krisis Identitas Sosial


Berita Terkini