Bayang-Bayang Ketimpangan Jabar (Bagian II), Lahan Hilang, Rakyat Terpinggir

Bayang-Bayang Ketimpangan Jabar (Bagian II), Lahan Hilang, Rakyat Terpinggir

Budi Rahman Hakim, Ph.D (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta | Peneliti Transformasi Sosial & Keadilan Wilayah)

Yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya hilangnya tanah, tapi juga hilangnya identitas komunitas. Di banyak desa, arisan tani menghilang, lumbung desa kosong, dan musyawarah adat digantikan rapat bank keliling. Desa yang dahulu hidup dengan siklus tanam dan panen, kini hidup dalam logika shift dan jadwal cuti pabrik.

Dalam Land and Freedom (Harvey, 2004), dijelaskan bahwa tanah bukan hanya objek ekonomi, tetapi juga ruang sosial dan kultural. Saat lahan hilang, maka hilang pula ikatan emosional, nilai gotong royong, dan keberlanjutan relasi antarwarga. Yang tersisa adalah residu sosial: kompetisi, keterasingan, dan kehilangan arah hidup.

Di Purwakarta, muncul kelompok pemuda yang mengalami alienasi karena tidak bisa lagi melanjutkan tradisi tani keluarganya. Mereka bukan pengangguran, tapi juga bukan bagian dari sistem ekonomi formal. Mereka mengambang—dan berisiko terjebak dalam lingkaran ekonomi gelap, penyalahgunaan narkoba, atau populisme sektarian.

Jalan Keluar

Menghentikan konversi lahan bukan solusi tunggal. Pemerintah daerah dan provinsi harus menyusun peta jalan regenerasi pertanian, reformasi tata ruang, dan integrasi sosial bagi eks-petani. Beberapa langkah konkret antara lain:

Pertama, zonasi pertanian permanen yang dilindungi oleh perda dan tidak bisa diubah tanpa persetujuan publik. Kedua, insentif ekonomi untuk petani aktif: potongan pajak, subsidi bibit, dan jaminan pasar dari pemerintah daerah. Ketiga, skema re-integrasi sosial bagi eks-petani dan buruh informal, melalui pelatihan keterampilan, pendidikan vokasi, dan inkubasi UMKM lokal. Dan keempat, audit sosial terhadap proyek-proyek investasi besar, agar seluruh rencana pengembangan kawasan industri wajib menyertakan peta dampak sosial-lingkungan yang transparan.

Jawa Barat harus belajar dari kegagalan banyak provinsi yang tumbuh cepat secara ekonomi tetapi gagal membangun keseimbangan sosial. Pembangunan tanpa keberpihakan hanya akan menciptakan "zona kemajuan" yang dikelilingi "zona keterasingan".

Pembangunan yang istimewa adalah pembangunan yang adil. Karawang, Subang, dan Purwakarta memang bisa terus dibanggakan lewat angka-angka investasi dan panjang tol. Tapi lebih dari itu, daerah ini akan dihormati bila bisa membuktikan bahwa setiap warga, baik di desa maupun di kota industri, merasa didengarkan dan diberdayakan. Kalau tidak, maka kita hanya sedang menyaksikan sebuah drama pembangunan: panggungnya megah, tapi aktor utamanya—yaitu rakyat kecil—dipinggirkan dari naskah. (Habis)


Berita Terkini