Upaya Meningkatkan Partisipasi Pemilih Pilkada Subang: Sosialisasi Inklusif Kunci Demokrasi Berkualitas

Upaya Meningkatkan Partisipasi Pemilih Pilkada Subang: Sosialisasi Inklusif Kunci Demokrasi Berkualitas

Ilustrasi oleh Indrawan Setiadi

Oleh: Dewi Nirmalasari, SKM., MM. dan Iwan Yuswanto, S.Pd.

Partisipasi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bukan sekadar angka statistik, tetapi cerminan kualitas demokrasi di daerah.

Sayangnya, pada Pilkada Serentak 2024, Kabupaten Subang justru mencatat penurunan partisipasi dibandingkan pemilihan sebelumnya.

Dari 73,35% di tahun 2018, angka ini merosot menjadi 70,17% di 2024.

BACA JUGA: Bayang-bayang Ketimpangan Jabar (Bagian I): Kemajuan Tak Sampai ke Desa

Penurunan ini tidak boleh dianggap sepele. Ini sinyal bahwa masyarakat mulai merasa jenuh, apatis, bahkan kecewa terhadap proses politik.

Penyebab utamanya? Terlalu singkatnya masa kampanye dan sosialisasi akibat jadwal Pemilu dan Pilkada yang berdekatan.

Berdasarkan analisis yang disusun oleh Penulis, kelelahan politik pasca-Pilpres 2024 menjadi salah satu faktor utama.

Masyarakat mengalami keletihan emosional dan sosial setelah dihantam kampanye panjang, penuh drama dan ekspektasi. Ketika hasil Pemilu tak sesuai harapan, kekecewaan berlipat.

BACA JUGA: Pojokan 259: Mimikri

Di sisi lain, waktu kampanye Pilkada hanya diberikan selama dua bulan—terlalu pendek untuk menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Ini diperburuk dengan minimnya akses informasi dan masih lemahnya kesadaran politik warga.

Situasi ini menciptakan ruang kosong yang mudah diisi oleh spekulasi negatif, termasuk praktik money politic.

Sebagai solusi, peningkatan frekuensi sosialisasi dan kampanye yang lebih inovatif menjadi opsi paling logis dan strategis. Pendekatannya tidak bisa lagi bersifat seremonial atau formalitas.

Sosialisasi harus menyentuh langsung kehidupan warga: melalui kegiatan olahraga bersama, diskusi publik di kampus, konten kreatif di media sosial, hingga simulasi pencoblosan di sekolah.

Namun, strategi ini tidak bisa dijalankan oleh KPU semata. Dibutuhkan kolaborasi antarlembaga: Bakesbangpol, Bawaslu, partai politik, media, bahkan tokoh masyarakat.

Mereka harus turun langsung ke lapangan, menyuarakan pentingnya Pilkada bukan sebagai rutinitas lima tahunan, tetapi sebagai kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar bisa membawa perubahan.

Kebijakan yang baik membutuhkan implementasi yang tepat. Artinya, pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggaran yang cukup, terutama untuk menyasar kelompok rentan seperti pemilih pemula, penyandang disabilitas, dan warga di daerah terpencil.


Berita Terkini