6 Dampak memiliki Bos yang Toxic: Lingkungan Kerja jadi Gak Sehat

6 Dampak memiliki Bos yang Toxic: Lingkungan Kerja jadi Gak Sehat (Image From: Pexels/Yan Krukau)
PASUNDAN EKSPRES - Memiliki atasan yang baik adalah salah satu faktor penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Namun, tidak semua orang beruntung mendapatkan sosok pemimpin yang inspiratif.
Sebaliknya, sebagian karyawan harus berhadapan dengan bos toxic, yaitu atasan yang cenderung manipulatif, otoriter, tidak suportif, atau bahkan sering merendahkan bawahannya.
Sayangnya, keberadaan atasan seperti ini bukan hanya membuat suasana kerja tidak nyaman, tapi juga berdampak luas terhadap kesehatan mental, performa, bahkan reputasi perusahaan secara keseluruhan. So, di sini ada beberapa dampak memiliki bos yang toxic.
BACA JUGA: 7 Tempat Tahun Baru di Jakarta, Bisa Lihat Kembang Api
Dampak paling nyata yang sering dirasakan akibat kepemimpinan toxic adalah terganggunya kesehatan mental dan emosional karyawan.
Bos yang toxic sering kali menggunakan kritik berlebihan, komentar merendahkan, serta gaya kepemimpinan penuh tekanan untuk mencapai target.
Kondisi ini menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat, penuh stres, dan kecemasan berlebih. Dalam jangka panjang, karyawan dapat mengalami penurunan rasa percaya diri, depresi, burnout, bahkan trauma psikologis.
BACA JUGA: Resolusi Traveloka Dorong Pertumbuhan Pariwisata Berkelanjutan
Hal ini sejalan dengan temuan dari American Psychological Association (APA) yang menunjukkan bahwa pemimpin yang tidak mendukung dan otoriter merupakan salah satu penyebab utama stres kerja kronis.
Tanda-tanda karyawan yang terdampak antara lain:
Tingkat turnover atau pergantian karyawan yang tinggi merupakan indikator penting yang menunjukkan bahwa sebuah perusahaan mungkin mengalami masalah internal, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Karyawan tidak akan betah bekerja di lingkungan yang penuh tekanan dan tidak suportif. Mereka cenderung mencari tempat kerja lain yang lebih sehat dan menghargai kontribusinya.
Dalam banyak kasus, alasan utama karyawan mengundurkan diri bukan karena gaji yang rendah, melainkan karena ketidaknyamanan dalam hubungan kerja, terutama dengan atasan langsung.
Dampak dari tingginya turnover: