Kamu Harus Tau, Ini Bahayanya Tambang Nikel di Raja Ampat

Aksi damai Greenpeace soroti ancaman tambang nikel di Raja Ampat. Aktivis desak pemerintah hentikan kerusakan lingkungan dan lindungi ekowisata Papua.
Kiki menyebutkan Selat Dampier sebagai contoh penting. Meski memiliki arus laut yang deras, kawasan itu merupakan habitat alami pari manta raksasa (Mobula birostris) yang menjadi ikon pariwisata bawah laut Raja Ampat.
Dampak lain dari industri nikel juga mengancam kelangsungan hidup cenderawasih botak (Cicinnurus respublica), burung endemik Papua yang hanya ditemukan di wilayah ini.
Burung eksotis ini menjadi daya tarik utama pengamat burung dari seluruh dunia dan menjadi andalan ekowisata warga lokal, terutama di kawasan seperti Distrik Waisai.
Ekowisata Raja Ampat Terancam
Ekowisata telah menjadi tulang punggung ekonomi lokal Raja Ampat. Data mencatat, pada tahun 2020, sektor ini menyumbang sekitar 15 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau sekitar Rp 7 miliar.
Pendapatan tersebut berasal dari retribusi penginapan, pajak kapal wisata, hingga pungutan kartu wisata yang dikenakan kepada pelancong domestik dan mancanegara.
Namun, keberlanjutan sektor ini terancam oleh aktivitas tambang yang berlangsung di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran—semuanya termasuk dalam kawasan kepulauan Raja Ampat.
Padahal, menurut UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kegiatan tambang di pulau kecil secara tegas dilarang.
Greenpeace mencatat, lebih dari 500 hektare hutan alami di ketiga pulau tersebut telah dibuka untuk pertambangan.
Selain kerusakan darat, lalu lintas kapal tongkang pengangkut nikel juga mengancam ekosistem terumbu karang di perairan Raja Ampat.