Pojokan 255: Ketemu

Tengok saja, bagaimana Presiden Prabowo menyambut Megawati seperti menyambut saudara yang telah lama tak bersua. (Dok Setneg)
Kalau soal ketemu, semua orang bisa ketemu siapapun yang dia mau. Apalagi sejoli yang dimabuk cinta, pertemuan adalah sesuatu yang dinanti dan dirindukan. Bahkan dicari-cari alasan, agar bisa berhubungan setiap saat. Bukan seperti debt collector yang kedatangannya kadang tak diinginkan dan tak ingin ditemui. Musabab belum bisa bayar cicilan yang menunggak.
Dimana pun, setiap orang ingin menemui orang yang dibutuhkannya. Atau menghindari perhubungan dengan seseorang atau sesuatu yang membuat tidak nyaman. Itu sudah menjadi kodrat alam, yang membuat nyaman dicari, yang tak nyaman dihindari.
Soal pertemuan itu sendiri, bisa dikemas dalam pertalian formal atau informal. Mau mentereng perjumpaannya bisa dikemas dalan seminar, dialog, klarifikasi, atau sarasehan. Terserah panitia, mengemasnya. Tempat pun bisa menyesuaikan. Yang sedang tren saat ini, pertemuan di café, rumah makan atau tempat tongkrongan. Minimal di pos ronda pinggir jalan kampung.
Soal siapa yang berjumpa juga menentukan nilai dari pertemuan itu. Bagi kita yang masuk partai orang biasa, siapa yang bersua tak masalah. Persuaan yang melahirkan canda tawa yang wajar dan tetap menjaga kehormatan, bagi kita sudah sangat membahagiakan.
BACA JUGA: Dapat 1 Ekor Sapi dari Pemda, DKM Masjid Al Musabaqoh Subang Bagikan Daging Qurban
Macam orang seperti kita, pertemuan tak usah diatur dalam protokoler dan tak usah membuat perjanjian waktu audiensi. Macam para birokrat. Tapi wajarlah, kalau birokrat bisa ditemui semua orang tanpa janjian, bukan birokrat namanya. Apa bedanya pejabat dengan tukang ketoprak atau starling (Starback keliling, tukang kopi saset yang keliling), jika semua orang sesuka hati ngajak ketemuan. Bisa berabe urusan.
Nah soal siapa yang berjumpa, ada perjumpaan Istimewa antara Presiden Prabowo, dengan presiden ke lima Megawati Soekarnoputri, didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka dan Wakil Presiden ke enam Jendral TNI (Purn) Try Sutrisno. Perjumpaan itu pada saat upacara peringatan Hari Lahir Pancasila 2025 yang ke 80 di Gedung Pancasila, 2 Juni lalu.
Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama mereka dalam satu forum resmi kenegaraan, sejak pelantikan Presiden pada Oktober 2024 lalu. Seperti kita tahu, ada perbedaan pandangan politik yang cukup tajam diantara keduanya. Bak bumi dan langit, bedanya pandangan dan sikap mereka ketika kontestasi 2024 lalu.
Tengok saja, bagaimana Presiden Prabowo menyambut Megawati seperti menyambut saudara yang telah lama tak bersua. Penuh kehangatan. Mungkin pengamat menafsirkan gestur Prabowo ke Megawati sebagai ajakan untuk bersama naik “kapal besar” menuju Indonesia Raya.
BACA JUGA: 100 Hari Bupati dan Wakil Bupati Subang: Masih Sibuk Seremonial DPRD Minta Fokus pada Janji Politik
Tak kalah hormat, Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka - putra sulung Presiden Joko Widodo, yang berdiri di belakang Megawati, menunjukkan gestur penuh hormat terhadap tokoh senior bangsa tersebut. Ini pun ditafsiri sebagai jembatan silaturahmi untuk orang tuanya.
Entah tafsir mana yang benar. Sebab ada banyak tafsir dari pertemuan tersebut. Namun Kita bisa belajar sikap kedewasaan dan kenegarawanan yang luar biasa, dari mereka.
Konon, pertemuan ini ditunggu banyak kalangan dan sekaligus tak diinginkan sebagian orang yang punya kepentingan. Sohibul riwayah menyebutkan pertemuan ini akan memberikan dampak positif untuk komunikasi politik bagi pemerintah yang sah. Sementara yang tak menginginkan, menyebutkan pertemuan tersebut akan menjadikan “jatah kursi” (entah kursi apa?) berkurang dan bertambahnya tekanan terhadap kelompok tertentu.
Sebab dalam politik, konon ada ketentuan, selalu ada pertukaran. Macam orang jual beli di pasar tradisional. Ada kesepakatan, antar pembeli dan penjual tentang apa yang akan dipertukarkan. Sesuai harga dan kepentingan masing-masing.
Seperti kita tahu, Megawati Soekarnoputri umpama “Anggrek Besi”. Indah, namun tak mudah ditekan dan tak akan tunduk pada tekanan apapun. Juga tak mudah menerima kesepakatan yang didasarkan atas kepentingan sempit.
Sang Anggrek Besi akan melihat dampak yang besar dan signifikan untuk kemaslahatan bangsa dan rakyat. Tak mudah digoyahkan dan tak takut pada ancaman. Anggrek Besi itu sudah tertempa, teguh pada prinsip kebangsaan dan berani memerjuangkannya.
Mungkinkah sang Anggrek Besi akan turut sang Garuda yang gagah perkasa dan mengepak sayap untuk Indonesia Raya? Yang pasti Anggrek Besi tak mungkin dan tak mau dibawa Garuda di paruhnya. (Kang Marbawi, 070625)