Kisah Pedagang Nanas di Jalancagak Subang yang Bertahan Demi Masa Depan Anak

Kisah Pedagang Nanas di Jalancagak Subang yang Bertahan Demi Masa Depan Anak

PEDAGANG NANAS: Suami Ririn yang sedang menata Nanasnya dipinggir jalan menggunakan kayu, kembali seperti tahun 1980 an.

SUBANG- Di pinggiran Jalan Raya Jalancagak, Kabupaten Subang, dulunya berjajar ratusan kios pedagang nanas yang menjadi salah satu ikon khas wilayah ini. Namun, sejak Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Subang melakukan penertiban dan pembongkaran bangunan liar (Bangli) yang berdiri di sepanjang jalan tersebut, suasana berubah drastis. Deretan kios yang dulu ramai pengunjung kini berganti dengan pemandangan kosong dan sunyi.

Salah satu pedagang yang terdampak langsung dari penertiban ini adalah Ririn, pemilik kios "Nanas Ririn Cell" yang sudah 15 tahun berjualan nanas di Jalancagak bersama suaminya. "Saya sudah 15 tahun jualan di sini, dari nanas ini kami hidup, menyekolahkan anak-anak. Sampai sekarang alhamdulillah anak saya yang pertama sudah di semester akhir kuliah," ujar Ririn saat ditemui di lokasi, Senin (2/6).

Dengan mata berbinar namun sedikit redup karena tekanan kondisi, Ririn bercerita selama ini dirinya menggantungkan sepenuhnya sumber penghidupan dari hasil menjual nanas.

Di akhir pekan, terutama hari Sabtu dan Minggu, ia bisa menjual hingga 6 sampai 7 kuintal nanas segar. Penghasilan dari kios itu tidak hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga berhasil menyekolahkan kedua anaknya, salah satunya kini menempuh pendidikan tinggi. "Yang besar sekarang lagi KKN, semester 7, sebentar lagi lulus. Yang kecil masih SMP. Biaya kuliah sekarang makin banyak, apalagi di akhir semester seperti ini. Tapi ya kami tetap semangat walau kondisi sekarang sedang sulit," tambahnya.

BACA JUGA: 100 Hari Bupati dan Wakil Bupati Subang: Masih Sibuk Seremonial DPRD Minta Fokus pada Janji Politik

Namun, pembongkaran kios yang dilakukan pekan lalu telah memukul telak sumber penghasilan keluarga kecil ini. Ririn mengaku  sejak ia tak lagi berjualan di tempat lamanya, penjualan nanas turun drastis. Kini sudah 3 hari  mulai jualan lagi, ia hanya bisa menjual sekitar 1,5 kuintal, itupun seringkali tidak habis. "Biasanya dari pagi sampai sore sudah ramai terjual nanas begitu banyak, kadang malah nambah. Tapi sekarang, karena tempatnya pindah dan kurang terlihat pembeli, banyak yang tidak tahu kami jualan di mana. Kami juga belum bisa memasang tempat yang layak," keluhnya.

Setelah dilakukan pembongkaran, banyak pedagang seperti Ririn yang menunggu kepastian relokasi dan kompensasi dari pemerintah. Ririn mengatakan sampai hari ini belum ada kejelasan berapa kompensasi yang akan diberikan kepada pedagang terdampak. "Katanya ada kompensasi buat dagangan, buat kios juga selama 2 bulan. Tapi belum tahu kapan. Kami kan butuh sekarang, buat sekolah anak, buat makan juga. Sekarang penghasilan turun jauh," katanya dengan nada khawatir.

Menurut data dari Pemerintah Desa Jalancagak, sedikitnya terdapat 234 pedagang yang terdampak pembongkaran kios, sebagian besar menjual nanas, makanan ringan lokal, dan buah-buahan lainnya. Banyak dari mereka adalah warga sekitar yang selama bertahun-tahun mengandalkan penghasilan dari kios pinggir jalan untuk menyambung hidup. "Kami bukan pedagang besar, bukan juga punya toko besar. Kami hanya jualan pakai meja sederhana, beratap seng, itu pun dibangun sendiri," ungkapnya.

Meskipun pemerintah telah menyiapkan dua lokasi untuk relokasi pedagang — di LJS (Lapangan Jalancagak Subang) dan bekas venue Asian Games 2018 milik CV Putra Wirabuana — namun nyatanya belum semua pedagang bisa kembali berdagang dengan normal. "Kalau di lokasi lama, orang gampang lihat. Pembeli dari Bandung, dari luar kota, suka mampir beli nanas. Sekarang banyak yang lewat tapi nggak tahu kami jualan di mana," ujarnya.

BACA JUGA: Apresiasi dan Kritik Kinerja 100 Hari Bupati Reynaldy dan Wabup Agus Masykur

Situasi ini membuat banyak pedagang mempertanyakan kebijakan penertiban tersebut yang dilakukan tanpa lebih dulu menyediakan lokasi pengganti yang siap pakai. Meski memahami alasan penataan ruang, para pedagang berharap pemerintah lebih berpihak pada keberlangsungan ekonomi rakyat kecil.

Subang dikenal luas sebagai sentra produksi nanas, buah tropis dengan rasa manis menyegarkan yang menjadi andalan pertanian dan ekonomi rakyat. Bahkan, nanas menjadi ikon daerah yang dipromosikan dalam berbagai event pariwisata dan pertanian.

Ririn adalah bagian dari rantai ekonomi lokal nanas ini. Ia membeli nanas dari petani lokal, lalu menjualnya kepada konsumen langsung, termasuk wisatawan yang melintas. 

Dengan pembongkaran kios dan sepinya penjualan sekarang, ia khawatir sektor ini bisa mengalami penurunan tajam. "Kalau kami nggak bisa jual, petani juga nggak bisa panen. Ujung-ujungnya harga nanas turun, dan semua dirugikan. Kami ini saling bergantung," jelasnya.

Ia berharap agar pemerintah segera memfasilitasi pembangunan sentra UMKM atau pusat penjualan produk lokal nanas agar para pedagang memiliki tempat tetap, tertata, dan strategis. Selain itu, ia juga berharap akses promosi bisa ditingkatkan agar pembeli mengetahui lokasi baru mereka.

Meski dalam tekanan ekonomi, Ririn mengaku tidak akan menyerah. Baginya, yang paling utama saat ini adalah memastikan kedua anaknya bisa menyelesaikan pendidikan. Ia mengaku bangga melihat anaknya yang sulung bisa menempuh kuliah hingga semester akhir, meski berasal dari keluarga pedagang sederhana. "Anak saya sudah hampir lulus, saya tidak ingin dia berhenti hanya karena kami tidak bisa bayar. Kami akan terus usaha, walau dagangan sekarang sepi. Saya percaya kalau kita kerja keras, Allah pasti bantu," tuturnya dengan suara bergetar.

Ririn juga berpesan kepada sesama pedagang agar tetap solid dan saling bantu. Ia menyadari bahwa hanya dengan bersatu dan menyuarakan kebutuhan secara bersama-sama, pemerintah bisa lebih cepat bertindak.

Cerita Ririn adalah potret nyata perjuangan rakyat kecil di tengah kebijakan penataan ruang yang, meskipun bertujuan baik, seringkali tidak disertai dengan kesiapan solusi jangka pendek.  Ketika deretan kios dibongkar, bukan hanya bangunan yang hilang, tetapi juga harapan dan sumber nafkah keluarga. Saat pemerintah berbicara tentang estetika dan perencanaan, Ririn dan para pedagang lainnya berbicara tentang makan hari ini dan masa depan anak-anak mereka.


Berita Terkini