Tarian Sisingaan Subang: Landasan Pesona Khas Sunda yang Wajib Dilestarikan

Tarian Sisingaan Subang: Landasan Pesona Khas Sunda yang Wajib Dilestarikan (Image From: Good News From Indonesia)
Menurut Abah Salim, seorang pengrajin patung singa di Subang yang diwawancarai oleh Pemkab Subang pada tahun 2011, awal mulanya adalah ketika anak yang akan disunat diarak keliling kampung menggunakan jampana, yaitu kursi yang dihias dan dipanggul oleh empat orang dewasa.
Arak-arakkan ini diiringi musik sederhana seperti dog-dog, kendang, kempul, dan kecrek, dengan irama yang bersifat spontan dan mengikuti pola tabuh pencak silat. Saat itu, gerakan para pengusung tidak menari-nari, dan hanya berjalan biasa mengikuti iringan musik.
Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya kreativitas masyarakat, jampana mulai diubah menjadi tandu berbentuk patung singa.
Patung ini dibuat dari rangkaian bambu (carangka) yang dibungkus karung goni, sementara kepala dan kaki singa dibuat dari kayu randu.
Rambut singa menggunakan tali rafia, dan matanya dibuat dari tutup botol. Desain ini kemudian dikenal sebagai sisingaan bongsang dan menjadi identitas utama pertunjukan ini.
Secara simbolik, patung singa mewakili lambang kekuasaan kolonial Inggris. Anak laki-laki yang duduk di atas singa melambangkan generasi penerus bangsa, sedangkan payung yang menaungi mereka merupakan simbol perlindungan.
Sementara itu, para pengusung singa mewakili masyarakat pribumi yang selama masa penjajahan mengalami penindasan. Oleh karena itu, Sisingaan juga dimaknai sebagai bentuk perlawanan dan semangat kebangkitan rakyat Subang terhadap kolonialisme.
Selain sebagai hiburan, Sisingaan juga memegang nilai sosial dan spiritual bagi masyarakat Sunda.
Dalam konteks ritual khitanan, pertunjukan ini dipercaya mampu memberikan semangat dan keberanian bagi anak yang akan disunat. Arak-arakan keliling kampung juga menjadi bentuk perayaan kebahagiaan keluarga dan syukur kepada Tuhan.
(ipa)