Pojokan 259: Mimikri

Kang Marbawi.
Rumah ibadah apapun, adalah griya Tuhan. Bahkan disetiap sudut yang disenandungkan asma Sang Pencipta, dia masuk spesis tempat suci. Hatta di dalam hati manusia. Soal penyebutan nama Sang Khalik, terserah selera dan kepercayaan yang mendzikirkan-Nya. Sebab Hyang Murbeng Alam punya banyak nama mulia.
Cara mengumandangkan nama-Nya pun bisa beragam. Dengan melantunkan senandung pujian, solawatan, wiridan baik dengan keras atau senyap dan macam lainnya. Diiringi alat musik rebana, terbangan, suling, gitar, piano dan segala macam alat musik pun, biasa. Sesuai dengan tradisi dan ajaran dari leluhur serta petunjuk penyambung lidah Tuhan alias sang pengkhotbah agama. Namun tujuannya satu, “mengagungkan Nama Tuhan”.
Tapi, cara melafalkan nama Tuhan itu, dipandang sebagai bagian dari yang disukai atau tak disukai. Apalagi jika sudah dianggap berbeda paham dan agama. Ada ketakutan penyebutan Tuhan dengan cara yang tidak sama dengan diri/kelompok/agamanya, bisa berakibat fatal terhadap keagamaan atau keimanannya. Ketakutan pada tersebarnya peran “misionaris” agama.
Padahal bisa jadi yang ditakuti itu fatamorgana atas kecemasan dan prasangka akan perebutan ruang publik terhadap orang/kelompok yang menuturkan nama Sang Pencipta dengan cara berbeda. Semacam sikap defensive terhadap sesuatu yang beda.
BACA JUGA: Pojokan 258: W.A., “Sang Pemburu”
Senandung puji-pujian kepada/untuk Tuhan walaupun lirih, tapi terasa keras-menggelegar bagi penganut prejudice, ketika dendangnya tak sama. Mendorong mereka bermetamorfosis menjadi kelompok vigilante-jama’ah kekerasan, dan pendengung, menghasut untuk mengajak yang lain berlaku dzalim. Dengan dalih, membela iman, atas nama kebenaran agama, murtad, tak ada izin, tak sesuai peruntukan. Mereka-kaki tangan kaum vigi-vigilante, berjama’ah melakukan pengrusakan.
Tak terhitung, korban dari pengekor kebengisan atas nama agama/kelompok yang merasa benar sendiri ini. Bahkan aksi mereka juga didomplengi kepentingan politisi. Dan mereka pun sengaja dipelihara untuk kepentingan tertentu.
Tengok saja laporan Setara Institute mencatatkan ada 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di tahun 2024. 243 tindakan tersebut dilakukan oleh jamaah vigi, dan 159 tindakan dilakukan oleh aktor negara. Pun yang terjadi pada aksi perusakan rumah retret di Cidahu, Sukabumi, 29 Juni 25 lalu.
Bisa jadi tindakan penyelewengan terhadap KBB yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 ini, diilhami oleh semangat misionaris dan keyakinan akan ajaran kebenaran agamanya saja yang nomor satu (1). Percis seperti iklan kecap asin-manis. Tidak salah memang, bahwa dalam konteks teologis, setiap umat harus meyakini dengan segenap akal-budi, pikiran, hati, jiwa dan raga tentang kebenaran teologisnya.
BACA JUGA: Sikap Pejabat Pengawas Menjawab Tantangan Di Era Digital
Namun, apakah dalam kehidupan sosial, asas yang bersifat pribadi itu harus dipaksakan kepada orang lain? Tentu tidak. Sebab yang lain pun punya hak yang sama meyakini keabsahan teologisnya (tauhid) yang berbeda dengan yang lain.
Pantas René Girard menyebut validasi keyakinan itu harus ditebus dengan adanya “kambing hitam” yang bisa disalahkan. Melahirkan sifat mimikri, sifat agresif amarah para penganutnya. Mimikri yang disalurkan kepada sasaran pengganti dengan kekerasan sebagai pembuktian. Atau karena pengiman itu merasa tertindas langit dan ingin memberontak? Tapi apa daya? Kita sudah terjebak iman yang dangkal. Seolah keimanan dibuktikan dengan kekejaman kepada lian yang berbeda. Seperti kata Girard, tetap hasil imannya itu “tak amat elok”. Seolah wajah Tuhan adalah wajah bengis. Padahal Tuhan itu pemurah dan penyayang kepada semua umat dan makhluk.
Agama memang berurusan dengan keimanan. Tapi ajaran agama yang hanif dan salim, fokus pada bagaimana seseorang memerlakukan orang dan makhluk lain sebagai cermin kecintaannya kepada Sang Maha Pemurah. Sebab iman itu menjaga, membela dan mengamankan diri kita dan orang lain -tanpa sekat sosial, agama, politik, kepercayaan, keyakinan, asal-usul dan lainnya-, dari segala sesuatu yang membahayakan dan merusak. (Kang Marbawi, 060725)