Krisis Identitas di Era Media Sosial: Analisis Tahap Psikososial Remaja Menurut Erik Erikson

Krisis Identitas di Era Media Sosial: Analisis Tahap Psikososial Remaja Menurut Erik Erikson

Oleh:

Annisa Desti Fahjri, Evi Nur, Surtiah

Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika UPI

 

BACA JUGA: Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2025 di Tingkat Kabupaten Subang

Teori perkembangan psikososial Erik Erikson merupakan salah satu pendekatan paling berpengaruh dalam memahami perkembangan manusia sepanjang rentang kehidupan. Erikson mengusulkan delapan tahap perkembangan yang masing-masing ditandai oleh krisis psikososial yang khas dan harus diselesaikan secara adaptif agar individu dapat tumbuh secara sehat (Erikson, 1968). Setiap tahap melibatkan konflik antara dua kekuatan yang berlawanan, dan penyelesaian yang sukses akan menghasilkan kekuatan psikososial tertentu yang memperkuat identitas individu (Nadiah et al., 2021)

Tahap kelima dalam teori Eqazrikson, yaitu identity vs. role confusion (identitas versus kebingungan peran), terjadi selama masa remaja dan merupakan tahap yang sangat penting dalam pembentukan jati diri. Pada tahap ini, remaja mulai bertanya, “Siapakah saya?” dan mencoba memahami siapa mereka dalam konteks sosial yang lebih luas (Kristianti & Nurwati, 2021). Erikson percaya bahwa pencapaian identitas yang kuat merupakan landasan bagi kemampuan untuk membentuk hubungan intim dan stabil di masa dewasa.

Remaja yang berhasil melalui tahap ini akan memiliki rasa identitas yang kohesif dan mantap, yang mencakup kejelasan nilai, arah hidup, dan peran sosial. Sebaliknya, kegagalan menyelesaikan konflik ini dapat mengakibatkan role confusion, yaitu perasaan bingung akan jati diri, kebimbangan dalam memilih jalur hidup, dan kecenderungan mengikuti tekanan eksternal tanpa arah yang jelas. Erikson menekankan bahwa proses eksplorasi menguji berbagai peran dan pilihan merupakan bagian penting dalam membentuk identitas yang sehat.

Dalam pengembangan lebih lanjut dari teori Erikson, James Marcia mengembangkan konsep status identitas yang terdiri dari empat kategori: identity diffusion, foreclosure, moratorium, dan identity achievement. Keempat status ini menggambarkan sejauh mana seseorang mengeksplorasi dan membuat komitmen terhadap identitasnya. Konsep ini membantu menjelaskan bahwa perkembangan identitas adalah proses yang kompleks dan tidak selalu linier, serta bergantung pada faktor internal maupun eksternal yang memengaruhi individu (Kurniawan et al., 2022)

BACA JUGA: Kejujuran di Kampus atau di Sekolah itu Jadi Barang Mahal atau Murah?

Secara keseluruhan, teori Erikson memberikan kerangka yang kaya untuk memahami perkembangan psikologis remaja. Krisis identitas yang terjadi dalam tahap ini bukanlah tanda kelemahan, tetapi fase penting untuk membangun dasar kepribadian dewasa yang stabil. Pemahaman akan tahap ini sangat penting bagi orang tua, pendidik, dan konselor dalam memberikan dukungan yang tepat bagi remaja yang sedang mengalami proses pembentukan identitas (Buanasari & Kanine, 2020). Keberhasilan dalam menyelesaikan krisis ini akan membawa remaja menuju masa dewasa dengan rasa percaya diri dan arah hidup yang jelas.

Di era digital yang serba cepat, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. Platform seperti Tiktok, Instagram, dan lainnya menawarkan ruang berekspresi, berinteraksi, dan membentuk citra diri. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan serius, yakni krisis identitas di kalangan generasi muda. Salah satu manifestasi krisis identitas adalah fenomena “flexing” dan Fear of Missing Out (FOMO). Remaja berlomba-lomba menampilkan gaya hidup mewah atau mengikuti tren viral demi mendapatkan pengakuan sosial atau validasi. Penelitian oleh Kayla Riasya Salsabila (2024) menunjukkan bahwa budaya narsisme dan flexing di Tiktok dapat memicu krisis identitas, karena individu merasa harus memenuhi standar tertentu untuk diterima dalam komunitas daring.

Demikian pula, studi oleh Nabilah Syahwal (2023) mengkaji kasus FOMO dalam konteks penjualan tiket konser Coldplay di Indonesia. Banyak remaja merasa tertekan untuk ikut serta dalam tren tersebut, bahkan rela melakukan tindakan beresiko seperti penipuan tiket, dem,i menjaga citra diri dan merasa menjadi bagian dari kelompok sosial tertentu.

Media sosial, sebagai platform digital, tidak hanya dimanfaatkan sebagai alat komunikasi untuk saling terhubung, tetapi juga menjadi sarana berbagi dan menerima informasi, ide, serta gagasan yang dapat diakses kapan pun dan di mana pun. Secara umum, istilah media sosial merujuk pada semua platform berbasis internet yang menghubungkan penggunanya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Secara lebih spesifik, media sosial terbagi menjadi beberapa jenis, seperti jejaring sosial (misalnya Facebook, Twitter, Instagram, Weibo) dan ruang berbagi atau diskusi seperti blog. (Utami & Nur, 2018) menyatakan bahwa dunia saat ini bagaikan desa kecil yang tidak pernah tidur, karena seluruh aktivitas manusia kini difasilitasi oleh teknologi internet (Utami & Nur, 2018).

Seiring dengan pesatnya perkembangan media sosial, manusia kini dapat dengan mudah mengakses dan membagikan berbagai berita, ide, dan informasi. Hal ini mendorong munculnya perubahan sikap dan perilaku yang dipengaruhi oleh konten-konten yang dikonsumsi di media sosial. Menurut Simarmata et al., (2021) pembelajaran adalah perubahan perilaku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil dari pengalaman (Simarmata et al., 2021). Dengan kata lain, media sosial memiliki peran dalam membentuk atau bahkan mengubah identitas seseorang melalui konten yang diamati dan didengar. Platform seperti Facebook, Twitter, TikTok, YouTube, dan blog dapat memicu perubahan nilai-nilai dalam diri individu secara permanen, sehingga berpotensi menimbulkan krisis identitas.

Krisis identitas (identity crisis) merupakan kondisi di mana seseorang mulai mempertanyakan nilai-nilai hidup, tujuan, dan kepercayaannya. Fenomena ini sangat rentan dialami oleh remaja, terutama jika mereka belum mampu menyelesaikan konflik internal dengan baik (Pratama et al., 2021). Konflik tersebut dapat muncul dari berbagai faktor, termasuk lingkungan pergaulan, tekanan dari keluarga, serta ketidakseimbangan antara kebutuhan jasmani dan kerohanian. Remaja cenderung membandingkan dirinya dengan informasi yang mereka lihat dan dengar di media sosial. Apabila tidak diarahkan secara bijak, informasi dari luar yang dianggap sebagai jawaban atas kebingungan mereka justru dapat memberikan pengaruh negatif dan merusak masa depan mereka.

Secara sederhana, identitas adalah pandangan seseorang mengenai siapa dan apa dirinya (Hisyam & Pamungkas, 2016). Krisis identitas remaja merupakan gejala psikologis yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan pembentukan komitmen. James Marcia mengembangkan teori identitas Erik Erikson dan mengklasifikasikan krisis identitas ke dalam empat status, yaitu: 

1. Identity Diffusion, ketika remaja belum memiliki pilihan dan belum mampu membuat komitmen.


Berita Terkini