Pojokan 254: 1 Juni 2025

Pojokan 254: 1 Juni 2025

Kang Marbawi.

 

Enaknya negeri kita tercinta ini. Setiap orang boleh berkumpul dan buat geng sendiri berdasarkan suku, agama atau golongan. Baik yang formal atau non formal. Karena memang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan atas dasar kesamaan sering nongkrong dipinggir jalan atau di lahan kosong pun bisa bikin kelompok sendiri. 

Soal diakui atau tidak, itu soal kiprah di masyarakat.Tengok saja, karena kesamaan hobi menjaga lahan kosong, pasar, parkiran, keamanan, siapa pun bisa membentuk organisasi. Supaya legal dan mentereng. Sekaligus bisa menakut-nakuti.

BACA JUGA: Pancasila, Kompas Kemajuan Subang

Kegemaran kebut-kebutan di jalan pun, bisa diwadahi. Kesamaan Model kumpulan yang tak formal dalam sekala besar dan beririsan dengan kekerasan, criminal, atau pengamanan ini, disebut kelompok geng preman, dalam kaca mata sosiologis.

Soal geng para preman menarik Douglas Wilson, dosen Murdoch University, Australia, hubungan preman, ormas, dan kekuasaan itu menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih dijalankan lewat logika informal dan patronase.

Penulis buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan Pasca Orde Baru ini menilai jasa kelompok ini digunakan dalam konstelasi politik dan demokrasi di Indonesia.

Hobi kumpul-kumpul ibu-ibu yang hanya bekerja menunggu suami pulang kerja dan belanja barang-barang branded pun bisa diwadahi dalam arisan. Mengeratkan silaturahmi, katanya. Walau isinya tentang pamer tentengan branded dan foto-foto selfi di ujung dunia. Sosiolog menyebutnya sosialitas.

BACA JUGA: Pojokan 253: Partai Fatalis-Oportunis

Ada lagi kumpulan orang-orang yang hobinya menjaga dan menguasai lahan hutan dan lahan adat. Mereka menebang habis sampai ke akar-akarnya isi hutan rindang. Disulap menjadi perkebunan sawit, tambang batu bara, minyak, emas dan segala hal yang ada di dalamnya di keruk.

Bedanya, mereka punya izin konsesi. Izin yang kadang turun bagai hujan dari langit dengan koneksi politik dan modal. Aksi mereka mengubah isi hutan menjadi aneka “tanaman baru” macam ilusionis David Copperfield. Kaca mata sosiologis menyebut mereka, geng oligarkhi. 

Perkumpulan model ini, biasa menggunakan nama depan paguyuban, forum, aliansi atau apa pun. Pokoknya yang penting terlihat keren.

Sosiologi itu macam tukang nujum. Pintar menerka kelakuan orang-orang dan menamainya dengan seenak hati. Pas pula serta diikuti banyak orang.

Tukang nelisik interaksi sosial orang-orang ini, paham juga soal ideologi yang menjadi salah satu kajian mereka. Kata mereka, ideologi Pancasila yang digali oleh Soekarno dan diucapkan untuk pertamakalinya pada 1 Juni 1945 di sidang Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUK) ini, mumpuni kandungan nilai dan filosofinya yang mendalam. Sayangnya saat ini, tak ada contoh yang konkrit dalam tindakannya. 

Tak ada lagi orang-orang seperti Sutami, Menteri Pekerjaan Umum era Soekarno dan Seoharto yang miskin sejak jadi pejabat hingga pensiun. Atau Hoegeng, Baharuddin lopa dan masih banyak lagi yang memiliki integritas. Saat ini, pejabat negara banyak mengidap penyakit osteoporosis (kerapuhan-keropos) etika.

Padahal sebagai ideologi, Pancasila harus menjadi landasan berpikir dan berperilaku serta sekaligus menjadi tujuan. Pancasila seharusnya menjadi “semacam Protestan ethic” yang menjadi etos kerja untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Mewujudkan dan menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban dalam perilaku sehari-hari.

Sayangnya, telisik para sosiolog tak terlalu didengar pada isu, ideologi dari luar mulai menggerogoti ideologi Pancasila melalui proyek industri  kreatif (financial, fun, food, film, fasyen) dan kecerdasan imitasi. Pancasila masih berkutat diruang-ruang diskusi dan akademik. Ideologi yang gagah di ruang wacana dan perdebatan filosofis.


Berita Terkini