Pecinta Alam Mahasiswa Universitas Subang Tolak Program Revitalisasi Tambak

Pecinta Alam Mahasiswa Universitas Subang saat melakukan aksi penolakan atas SK Kemenhut Nomor 274 Tahun 2025 yang menetapkan sebagian kawasan pesisir utara Jawa Barat(Istimewa)
SUBANG-Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SK Kemenhut) Nomor 274 Tahun 2025 yang menetapkan sebagian kawasan pesisir utara Jawa Barat, termasuk Kabupaten Subang, sebagai lokasi program revitalisasi tambak mendapat penolakan tegas dari Pecinta Alam Mahasiswa Universitas Subang (Palamus).
Ketua Palamus, Arya Udayana Maulana menyatakan bahwa kebijakan tersebut mengancam ekosistem hutan mangrove dan keselamatan masyarakat pesisir.
"Alih fungsi hutan lindung dan hutan produksi menjadi tambak seluas lebih dari 20.000 hektare adalah langkah mundur dan keliru. Ini bukan hanya menggerus ekosistem mangrove, tetapi juga memperparah risiko bencana seperti rob yang tiap tahun makin meluas," ucapnya Kepada Pasundan Ekspres, Kamis (31/7/2025).
Empat kabupaten terdampak dari kebijakan ini adalah Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu. Di tengah peringatan World Mangrove Day 2025, Palamus menilai penanaman mangrove yang dilakukan secara simbolik oleh Pemerintah Daerah Subang bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak sejalan dengan isi kebijakan yang mereka keluarkan sendiri.
BACA JUGA: Rekomendasi Tempat Jogging di Subang, Ada CFD Lho di Hari Minggu
"Seremoni penanaman mangrove itu hanya simbolik dan penuh kontradiksi. Satu sisi tanam mangrove, sisi lain terbitkan SK yang memperluas tambak di kawasan mangrove. Ini bentuk inkonsistensi dan pengabaian terhadap krisis iklim yang nyata," ujar Arya.
Data Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Jawa Barat menyebutkan bahwa luas hutan mangrove di Subang kini hanya tersisa sekitar 3.628 hektare, dengan lebih dari sepertiganya mengalami kerusakan.
Sementara luas tambak justru melonjak menjadi 14.300 hektare. Tak hanya itu, bencana banjir rob juga terus mengancam.
"Pada Desember 2024, banjir rob di Subang telah menimpa lebih dari 1.700 kepala keluarga di empat desa pesisir. Itu bukan sekadar genangan air. Itu bencana ekologis yang seharusnya dijawab dengan pemulihan alam, bukan ekspansi tambak," jelasnya.
BACA JUGA: 3 Tempat Wisata Sejuk di Subang yang Wajib Dikunjungi
Palamus juga menyoroti minimnya transparansi pemerintah soal perluasan tambak dalam lima tahun terakhir. "Tidak ada data publik tahunan yang bisa dilacak. Tapi di lapangan, mangrove makin menyempit, tambak makin luas. Ini jelas kegagalan tata kelola lingkungan," tambahnya.
Dalam dokumen perencanaan pembangunan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, juga tidak ditemukan komitmen eksplisit untuk melindungi atau memperluas hutan mangrove.
Kebijakan konservasi justru lebih banyak diarahkan pada proyek fisik seperti pembangunan tanggul, bukan solusi alami berbasis ekosistem.
Padahal, menurut Palamus, rehabilitasi mangrove adalah solusi murah, efektif, dan ramah lingkungan dalam menghadapi krisis iklim dan bencana pesisir. Pemerintah disebut telah lalai dengan tidak menjadikan ekosistem sebagai fondasi kebijakan pembangunan pesisir.
Atas dasar itu, Palamus menyatakan sikap, pertama menolak Keputusan Menteri LHK Nomor 274/2025 karena bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan hidup dan keselamatan warga pesisir. Kedua , menuntut pencabutan SK 274/2025 dan menghentikan ekspansi tambak di kawasan mangrove.
Ketiga, mendorong pengarusutamaan perlindungan dan rehabilitasi mangrove dalam kebijakan pembangunan wilayah pesisir utara Jawa Barat, khususnya Kabupaten Subang. "No Mangrove, More Disaster!," tegas Arya dalam pernyataan akhirnya.
"Masa depan pesisir bukan soal berapa luas tambak yang dibuka, tetapi tentang seberapa berani kita mempertahankan benteng terakhir dari krisis iklim: hutan mangrove. Jaga mangrove, jaga kehidupan!".
Palamus menyerukan agar pemerintah lebih mendengarkan suara masyarakat dan ilmuwan, bukan hanya investor tambak. Keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas utama, bukan dikorbankan atas nama pembangunan yang abai terhadap ekosistem.(ijl/sep)