Pojokan 256: Biwar

Kang Marbawi.
Legenda itu tentang naga yang menghabisi sekelompok warga Kamoro, Mimika wee, sepulang mencari sagu. Juga menguasai hutan sagu, hingga rakyat tak bisa ambil hasilnya. Hanya seorang wanita hamil yang selamat dari serangan naga. Wanita itu selamat dan melahirkan seorang anak bernama Biwar. Dalam babad itu, sang naga dikalahkan oleh Biwar.
Namun cerita berulang, hikayat naga muncul lagi. Bahkan lebih buas, ganas, serakah, cerdas dan membawa pendukung dari negeri antah berantah. Sang naga yang entah datang dari mana, menelan habis semua yang ada di tanah nusantara. Pertanian, ubi, babi, emas, cacing tanah, kecoa, rayap, tambang, semua di gasak. Hutan dijarah, isi tanah di keruk, isi lautan dihisap hingga tak bersisa. Hatta ampasnya pun ditelan habis. Hanya menyisakan kerusakan tak hingga. Naga itu melabrak legenda leluhur. Mengejeknya seperti keranjang sampah ditendang.
Sayangnya tidak ada Biwar lagi. Naga itu telah melumpuhkan semua perlawanan penguasa dengan sentuhan korupsi. Begitu sakti sang naga, hingga ia memiliki lisensi untuk mengeruk semua apa yang ada di dalam tanah, di atas tanah, tak bersisa. Hanya meninggalkan botak kerusakan di tanah dan lautan Papua. Tanah yang dianggap titisan surga indraloka.
Legenda adalah tradisi mewariskan pengetahuan tentang pengalaman dan kearifan hidup. Kearifan untuk menjaga sumber daya alam dengan bijak dan menghargai kelokalan. Kini, kearifan itu tersungkur oleh keserakahan dan hangusnya penghormatan terhadap tradisi leluhur.
BACA JUGA: Urgensi Regulasi Pembinaan Penyelenggara Penilaian Kompetensi ASN
Tanah surga yang kaya itu -diseluruh belahan bumi nusantara tercinta ini, hanya menjadi kutukan (the rescource curse phenomenon-kutukan sumber daya alam). Daerah-daerah yang teridentifikasi sebagai daerah dengan ladang kemiskinan, justru merupakan daerah- daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kutukan atas kearifan yang tak dijaga.
Rakyat sebagai pemilik sah dari kekayaan itu tak menikmati secuil pun endapan kekayaan yang ada di tanah leluhur yang dititipkan untuk anak cucu. Dititipkan untuk dirawat dan dijaga dari gelojoh syahwat para naga dan penguasa yang tak punya nurani dan moral. Namun kekayaan itu diperebutkan oleh para naga yang tamak dan kemaruk. Pun lima naga yang bersarang di tanah Raja Ampat Papua. Dan naga-naga itu duduk tenang mengeruk dan merusak tanah surga kita.
Tanah surga itu sejak dulu telah jatuh sekarat. Dirusak tanpa keadaban alam dan rasa iba. Hak-hak masyarakat diabaikan oleh ketamakan naga yang didukung “raja-raja” di nirwana. Sebab raja-raja telah disetori seonggok emas, permata dan berlian untuk memenuhi syahwatnya. Tanah surga di nusantara ini telah digadai sejak 1967 hingga sekarang. Dimulai ketika tanah di nusantara diagunkan ke Freeport dan industry ekstraktif-eksploitatif lainnya (pertambangan, perkebunan, kehutanan).
Melahirkan deforestasi besar-besaran hingga menyundul angka 115.500 hektar per tahun. Meninggalkan bopeng-bopeng lubang bekas tambang terbengkalai. Pitak-bopeng di tanah surga nusantara ini, hingga 2023 mencapai 3000 lubang yang belum direklamasi.
Kita perlu Biwar yang mampu melawan. Melawan dengan mengusulkan RUU (Rancangan Undang-Undang) mengenai Ekosida, aturan hukum yang mencegah kejahatan terhadap lingkungan hidup (ekosida). Ekosida merupakan kejahatan luar biasa yang perlu dirumuskan UU dan aturan turunannya. Karena selama ini, perusakan lingkungan dikategorikan sebagai kejahatan biasa.
Sayang, tak ada lagi legenda Biwar yang melawan. Entah ke mana? Sebab sang Naga telah menyumpal nurani “Raja-Raja”. (Kang Marbawi, 140625)