Ibarat cetakan kue serabi, watak manusia Indonesia tak bergeser dari gambaran Mochtar Lubis tahun 1977. Sesuai perkembangan jaman, saat ini ada variasi tambahan topping di kue serabi. Ada coklat, keju, susu, madu dan sejenisnya, sesuai selera konsumen. Namun bahan dasar kue serabinya tetap sama. Begini cetakan watak dasar manusia Indonesia versi Mochtar Lubis; hipokrit, tak bertanggungjawab, feodal, percaya takhyul, artistik dan lemah karakternya.
Yang berkembang itu topping watak manusia Indonesia saat ini macam-macam menunya. Bergantung cara pembaca melihat dan meresapi setiap peristiwa. Topping ini tumbuh bersamaan perkembangan watak dasar yang semakin kuat dan tempaan merebaknya gaya hidup hedonis.
Ada kue serabi topping watak “coklat-sumbu pendek”. Topping ini bagi orang yang gampang tersulut emosi dan reaksioner terhadap apa pun yang menimpa dirinya. Tengok saja, gara-gara pandangan mata atau senggolan badan saja, bisa terjadi tumpah darah.
Menu topping watak “keju-instan” pun tersedia. Menu ini paling disukai kebanyakan orang Indonesia yang ingin cepat sukses, kaya, terkenal dan sebagainya tanpa mau cape-susah payah, mengikuti proses. Lihat saja, media sosial -medsos, memungkinkan orang untuk melakukan apapun dan terkenal dalam waktu singkat.
Tengok saja, pengguna media sosial di Indonesia. Laporan We Are Social mencatat Januari 2023 ada 212,9 juta (77%) dari orang Indonesia menggunakan internet. Angka ini naik 3,85 % dari tahun 2022 yang mencapai 205 juta orang. Rata-rata orang Indonesia menggunakan internet selama 7 jam 42 menit setiap harinya. Melahirkan penyakit simulacrum-berita bohong yang dianggap kebenaran.
Pantas Tom Nichols menyindir orang pintar yang tak berdaya dengan simulacrum ini. Dalam bukunya The Death of Expertise -Matinya kepakaran, Nichols, 2018 menyebutkan. tentang efek negative dari dunia digital. “Internet membuat kita lebih kejam, bersumbu pendek, dan tak mampu membangun iklim diskusi di mana setiap orang saling belajar. Masalah utama dengan komunikasi instan ini adalah sifatnya yang instan itu”. Begitu kata Nichols.
Akibat topping/pugas keju-instan ini, orang Indonesia gampang tertipu investasi bodong yang menyasar watak orang Indonesia yang ingin cepat kaya tanpa kerja keras. Menu ini biasanya dipadu dengan pugas watak “tak kritis” yang menyebabkan orang Indonesia tak pernah berpikir matang-kritis tentang segala sesuatu. Pantas apapun dibodohi dan dimanupaliasi. Termasuk kebijakan dan hukum.
Taburan watak tak kritis bisa juga dipadu dengan topping watak “rendah literasi”. Orang Indonesia malas membaca!!! Coba intip rangking kebiasaan membaca orang Indonesia dibanding negara lain.
Laporan Unesco yang menyebutkan dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 (satu) orang saja yang rajin membaca. Sungguh memalukan -minimal buat saya. Apalagi jika membaca laporan Majalah CEOWorld mendadarkan bahwa Indonesia nangkring di level 31 dunia dari 102 negara dalam hal kegemaran membaca. Dan hanya menghabiskan 6,83 buku pertahun. Indonesia hanya di bawah Singapura dan Thailand di Asia Tenggara dalam hal hobby membaca.
Topping instan ini lah yang menjadi pavorite manusia Indonesia. Semua ingin serba mudah, cepat, dapat banyak dan tak repot dalam segala hal. Pantas topping instan ini membutuhkan pelumasan sakti, “uang”. Pelumas yang bisa membeli segala; kekuasaan, kemuliaan, penghormatan, kebahagiaan, jabatan, hukum, teman, keluarga, cinta, masyarakat, mertua, aparat, keluarga dan segala yang bisa dibeli. Bahkan iman pun bisa dibeli.
Pelumas itu menjadi penguasa dan berkuasa. Dan orang berjuang untuk memperoleh pelumas itu. Kasus giant korupsi pertamina hingga Rp 1000 triliun, ketua mahkamah konstitusi, hakim pengadilan dan penegak hukum yang tersangkut kasus rasuah tak pernah pudar dan berkurang. Selalu bertambah nilai dan jumlahnya. Macam tikus beranak, semakin banyak dan berlimpah ruah. Bahkan hukum pun di kangkangi.
Ah, entahlah! Apakah cetakan kue serabi itu bisa diupgrade menjadi lebih baik. Sebab menurut para ahli watak itu sudah berkarat, berurat berakar. Saya sendiri berharap ada topping berdaulat dan tak tunduk pada tarif Trump. Pembaca pun boleh menambahkan toppingnya sendiri. (Kang Marbawi, 200425)