Oleh:
Cahya Kurniawan
(Karyawan Bank Swasta)
Besok, tanggal 1 Mei 2025, dunia memperingati Hari Buruh Internasional sebagai momen penting untuk menyoroti perjuangan dan harapan kaum pekerja.
Di Indonesia, peringatan ini selalu menjadi titik temu antara suara-suara buruh/pekerja yang memperjuangkan keadilan dan realitas industrial yang semakin kompleks.
Tahun 2025 ini, tema yang mengemuka di tengah komunitas pekerja sektor jasa keuangan adalah:
“PHK Sepihak Menghantui Pekerja Jasa Keuangan"
Sebuah tema yang bukan sekadar wacana, tetapi cermin dari kecemasan nyata yang hari ini hidup di balik layar profesionalisme industri keuangan.
Di balik kerapihan jas dan dasi, di balik laporan laba rugi yang terus dievaluasi, para pekerja jasa keuangan menyimpan satu keresahan yang makin terasa nyata: ketidakpastian status kerja akibat kebijakan PHK sepihak yang semakin marak.
Dalam beberapa tahun terakhir, transformasi digital dan penyesuaian organisasi memang tak terhindarkan. Namun yang perlu dikritisi adalah cara kebijakan itu dieksekusi, sering kali tanpa proses yang transparan, tanpa komunikasi yang sehat, dan bahkan tanpa perundingan yang semestinya menjadi hak pekerja.
PHK sepihak tidak hanya berdampak pada penghidupan seseorang, tetapi juga mengguncang sendi-sendi keadilan di lingkungan kerja. Ia mengaburkan batas antara efisiensi dan pemutusan sepihak. Di sinilah letak persoalan yang perlu disorot lebih terang.
Kita harus jujur mengakui, sektor jasa keuangan bukanlah sektor yang sedang mengalami krisis eksistensial. Sebaliknya, sebagian besar institusinya menunjukkan performa yang stabil bahkan mencetak keuntungan. Maka pertanyaannya bukan lagi soal kemampuan bertahan, tetapi soal pilihan: apakah keuntungan akan terus ditumpuk di atas pengorbanan diam-diam para pekerja?
Refleksi ini bukan ajakan untuk menolak perubahan. Dunia kerja memang harus terus beradaptasi. Tapi adaptasi sejati tidak boleh mengorbankan rasa keadilan. Sektor keuangan membutuhkan transformasi yang manusiawi, yang tidak hanya fokus pada kinerja finansial, tetapi juga menjunjung etika hubungan industrial.
Pekerja jasa keuangan bukan sekadar sumber daya yang bisa digantikan. Mereka adalah bagian dari denyut ekonomi nasional. Ketika hak-hak mereka dirampas secara sepihak, sesungguhnya kita sedang membangun sistem ekonomi yang rapuh di atas fondasi ketidakadilan.
Mayday 2025 harus menjadi momentum untuk mengembalikan akal sehat dalam hubungan kerja. Bahwa dialog sosial bukan simbol, melainkan kewajiban. Bahwa perlindungan kerja bukan beban, melainkan syarat bagi keberlangsungan industri. Dan bahwa kesejahteraan pekerja bukan tuntutan semata, melainkan investasi jangka panjang bagi stabilitas dan integritas sektor jasa keuangan itu sendiri.
Selamat Hari Buruh, khususnya buat kawan-kawan di sektor jasa keuangan !!!
Saatnya sektor jasa keuangan memperhitungkan bukan hanya angka, tapi juga manusia di balik angka-angka itu.(*)